Ketika hujan semakin lebat, kamu tak kunjung bergeming dari tempat semula. Menatap lekat kepadaku seolah memohon. Itu gila saat kamu tak berkedip meski kilat membuatku tersentak.
Tidak salah lagi, yang ada di genggam tangan kirimu adalah payung, kenapa tidak dipakai saja?
Aku ingin beranjak, tapi melihatmu di sudut sana membuatku urung pergi. Aku ingin menghampirimu, namun aku hampir tidak punya alasan untuk itu, bahkan aku masih berada di sini juga karena menunggu hujan reda. Aku tidak pernah membawa payung.
Sambil sesekali menyruput kopi, aku terus membuat sketsa , kali ini tentang bocah kecil dan payungnya, sedikit beraroma 'manga'. Ku lirik ke arahmu, aku kira sudah pergi, ternyata kamu hanya minggir sedikit dan berteduh di depan toko alat-alat musik.
Sebenarnya siapa yang kamu tunggu, karena aku tidak lagi melihat tatapan itu, dia menunduk.
Tapi setidaknya aku lega dia tidak lagi kehujanan.
Jendela kedai kopi ini cukup lebar, dan aku bisa dengan jelas melihat langit yang mulai cerah. Gerimisnya cantik sekali, aku segera membayar untuk secangkir kopi dan sepotong kue coklat yang sudah habis sedari tadi.
Mengemasi kertas-kertas gambarku agar tidak basah dan melenggang keluar kedai dengan bersemangat. Angin dingin berhembus saat kubuka pintu kaca kedai. Meski dingin kuhirup dalam-dalam juga, hujan kali ini istimewa karena sepertinya ini hujan pertama di bulan Desember.
Di tepi tangga kecil depan kedai, melangkah perlahan dan menengadahkan tangan untuk merasakan tetes hujan, ada bayangan di telapak tangan, sepertinya langit batal menghentikan hujan.
Aku salah, ada seseorang memayungiku, tersenyum dan menyodorkan payungnya padaku. Lelaki itu, yang menatapku saat hujan lebat tadi, siapa kamu? siapa orang di depanku ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar