Siapa yang
paling ajaib, cerita yang kamu narasikan, atau saat ini kita yang sedang
menikmati kopi dari gelas yang sama?
***
Aku melihat
beberapa titik cahaya, yang hilang sekejap dari balik pohon di belakangmu,
kurasa itu kunang, karena tak lama kemudian muncul lagi dan selalu berpindah,
hilang dan muncul lagi. Tapi aku lebih mempercayainya sebagai peri.
Senyata-nyatanya
teman adalah khayalan, narasi yang yang kubuat, sosok-sosok yang kubentuk tanpa
aturan. Kemudian aku berpikir bahwa diriku sendiri makin makin tak waras,
bergumam seiring lagu yang kudengar lewat headset untuk menyumbat suara bising
di luar, dan sesekali memandangi sketsa yang tergeletak di dekat bantal.
Kamar
tiba-tiba bising dengan suara langkah kaki yang beradu dengan tebaran kertas di
lantai kamar, dan kamu melepas headset yang sudah hampir menyatu dengan
kepalaku.
“Siapa ini?”,
kamu memungut satu sketsa, mengangkatkanya setinggi pandanganku, baru kemarin
kamu menanyakan sambil menerawang sketsaku itu, dan itu masih terngiang, hari
ini aku akan memenuhi janji untuk menjawabnya.
“Dia, adalah
yang aku harap akan menjadi ada,” kamu tersenyum dan aku lega. Kamu, orang
paling realistis yang menghargai ketidak masuk akalan orang, aku suka.
Seperti biasa
kamu mengambil bantal dan merebahkan diri di belakangku, tidur. Kuambil foto
wajah damaimu, dan melanjutkan pekerjaanku, membuat ilustrasi untuk beberapa penerbitan cerewet yang
terlalu banyak maunya. Tapi ada satu penerbitan, dimana aku bertahan bukan
karena uang. Tempatnya kecil, awalnya aku berpikir bahwa itu rumah seorang yang
eksentrik, dengan pagar yang terbuat dari sisa-sisa kursi kayu lapuk, yang
sengaja diatur agar ditumbuhi tanaman merambat, ternyata begitu masuk ke rumah,
semacam kantor berlantai dua yang memiliki atmosfir seperti kafe. Saat itu juga aku jatuh hati,
dan kutitipkan hatiku di salah satu sudut kantor itu, kutinggalkan agar aku
tidak jemu datang ke sana.
Ya, aku
benar, pemiliknya orang yang eksentrik, lelaki yang sekarang tertidur pulas di
kasur tipis, tepat dibelakangku.